Wednesday, May 02, 2007

Diam......???

Dulu orang tua kita kerap mengajarkan bahwa diam adalah emas. Dengan tanpa penjelasan apapun. Setelah aku mulai 'mengaji', aku juga menemukan pengajaran yang sama, namun dengan sedikit penjelasan, "daripada berkata-kata buruk dan berbuat dosa." Waktu Kuliah, ada ajaran yang makin buruk yang aku terima tentang pengertian diam itu emas. Seorang dosen dengan 'arif' berkata, "Kamu diam aja deh, gak usah ikut macam-macam, gak usah protes-protes, belajar tok. Yang penting lulus deh." dan bener, karena terlalu macam-macam akhirnya aku gak bisa lulus dan terpaksa pindah kuliah, he.he..

Terus terang, aku merasa pesan ini lebih sering menggangu. Simplenya, kenapa kok orang ngomong dilarang?

Sejarah menunjukkan, betapa perubahan takkan pernah terjadi oleh yang diam. karena mayoritas diam (silence majority), kita menikmati masa 350 di bawah kolonialisme Belanda. Udah gitu gak kapok juga, kita selalu diam ketika negara selalu menzalimi kita.

Sejarah kekerasan yang berlanjut juga berawal dari diam. Hampir dipastikan seluruh penindasan yang bertahan bukan karena ketidakberdayaan semata-mata, tetapi lagi-lagi karena mayoritas yang diam. Fatalnya, semua berharap someday something happen, the dream come true, but without any act. Its like waiting the great hero come to keep us from the evil, yang membebaskan, kayak ratu adil dan semacamnya. bayangkan mayoritas justru menunggu sekumpulan kecil yang kuat. tidak pernah terpikir, bahwa kebakaran besar selalu bermula dari api yang kecil.

Tapi kita sudahi dulu perdebatan tentang diam, karena pada tingkat tertentu diam memang penting. Pengalaman menarik tentang diam justru muncul di kereta api jabotabek.
Dulu selalu ada ledekan, orang akan diam kalo berurusan dengan polisi dan tentara. Pernah seorang bapak yang kakinya terinjak oleh seorang laki-laki berbadan tegap dan berrambut cepak. Dengan meringis menahan sakit, bapak itu berkata,
"Mas, mohon maaf sebelumnya kalo saya lancang, boleh gak saya bertanya?"
Dengan penuh keheranan 'si Mas' menjawab, "Boleh Pak."
"Baik Mas," lanjut Bapak itu, "Apa Mas Tentara?" "Bukan Pak" jawab 'si Mas'. "Mas Punya keluarga yang jadi tentara?" "Enggak Pak." Jawab 'si Mas' heran. "Oh, Kalo gitu Mas Polisi yah?" "Bukan." "Punya keluarga yang jadi polisi gak Mas?" "Enggak." jawab 'si Mas' makin heran. Tiba-tiba bapak itu berteriak, "Hei Monyong! gak sopan ama orang tua, angkat kaki lo yang udah setengah jam nginjek kaki gue!" Nah loh! Tadi diam karena emas atau karena takut pak??

Tapi ini cerita lain. Yang namanya kereta Jabotabek yang berangkat dari Bogor pagi hari pasti penuhnya ampun-ampunan, dah kayak ikan sarden dalam kaleng. Suatu pagi, di tengah gerbong yang tingkat kepadatan penumpangnya melebih penonton konser Slank, seorang anak muda yang ganteng dan bersih berteriak, "Woi, ngepet lo, jangan dorong-dorong gue dong!" gak dinyana dan diduga, penumpang satu gerbong langsung teriak mengomentari anak muda itu, "Woi siapa tuh teriak ngepet di kereta, kalo mo lapang naik taksi!" "Begitu tuh anak pejabat yang gak biasa susah kalo naik kereta!" "Belagu banget sih tuh bocah, pengen gue tonjok!" termasuk seorang ibu di sebelah ku berkomentar, "Mas kalo naik kereta pagi jangan ngadep ke Timur, panas!" Nah kena lo disindir..

Akhirnya, soal diam memang butuh tempat yang proporsional dan waktu yang tepat. gak semua harus diomongkan, tetapi juga gak semua boleh didiamkan. Ada satu petuah dari guru-guru Shaolin, "Orang yang 'tersesat' itu seperti orang yang terkurung dalam ruang gelap dalam waktu lama. Sementara kebenaran itu seperti cahaya yang sangat terang benderang. Karenanya, jangan memaksa untuk membuka ruang langsung lebar-lebar, agar cahaya yang datang tidak membutakannya. Ia yang awalnya buta dengan kesesatan, mungkin akan lebih buta dengan kebenaran yang dipaksakan."